Rabu, 15 Desember 2010

Puasa Asyura

Alhamdulillah, saat ini kita telah berada di bulan Muharram. Mungkin masih banyak yang belum tahu amalan apa saja yang dianjurkan di bulan ini, terutama mengenai amalan puasa. Insya Allah kita akan membahasnya pada tulisan kali ini. Semoga bermanfaat.

Dianjurkan Banyak Berpuasa di Bulan Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[1]

An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[2]

Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh An Nawawi.

Pertama: Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.

Kedua: Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram.[3]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah).”[4]

Sesuai penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:

1. Puasa sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan Muharram.
2. Puasa sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Ini bukan dinamakan puasa sunnah muthlaq. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal.[5]

Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram.[6] Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Puasa yang Utama di Bulan Muharram adalah Puasa ‘Asyura

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram[7]. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[8]

An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Para ulama sepakat, hukum melaksanakan puasa ‘Asyura untuk saat ini (setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, -pen) adalah sunnah dan bukan wajib.”[9]

Sejarah Pelaksanaan Puasa ‘Asyura[10]

Tahapan pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura di Makkah dan beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya.

Dari ’Aisyah -radhiyallahu ’anha-, beliau berkata,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

”Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).”[11]

Tahapan kedua: Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlul Kitab melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun ikut berpuasa ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau memerintahkan pada para sahabat untuk ikut berpuasa. Melakukan puasa ‘Asyura ketika itu semakin ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil untuk turut berpuasa.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.”[12]

Apakah ini berarti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam meniru-niru (tasyabbuh dengan) Yahudi?

An Nawawi –rahimahullah- menjelaskan, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa melakukan puasa ’Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura, lalu beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun ikut melakukannya. Namun beliau melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi). Wallahu a’lam.”[13]

Para ulama berselisih pendapat apakah puasa ‘Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadhan dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, pada masa tahapan kedua, puasa ‘Asyura dihukumi wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Abu Bakr Al Atsrom.

Pendapat kedua: Pada masa tahapan kedua ini, puasa ‘Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali.[14]

Namun yang jelas setelah datang puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan dinilai sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi -rahimahullah-.[15]

Tahapan ketiga: Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura dan tidak terlalu menekankannya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa, silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha dalam hadits yang telah lewat dan dikatakan pula oleh Ibnu ’Umar berikut ini. Ibnu ’Umar -radhiyallahu ’anhuma- mengatakan,

أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.

“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.”[16]

Ibnu Rajab -rahimahullah- mengatakan, “Setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan lagi untuk melakukan puasa ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Akan tetapi, beliau meninggalkan hal ini tanpa melarang jika ada yang masih tetap melaksanakannya. Jika puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan dikatakan wajib, maka selanjutnya apakah jika hukum wajib di sini dihapus (dinaskh) akan beralih menjadi mustahab (disunnahkan)? Hal ini terdapat perselisihan di antara para ulama.

Begitu pula jika hukum puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan adalah sunnah muakkad, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hukum puasa Asyura beralih menjadi sunnah saja tanpa muakkad (ditekankan). Oleh karenanya, Qois bin Sa’ad mengatakan, “Kami masih tetap melakukannya.”[17]

Intinya, puasa ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan masih tetap dianjurkan (disunnahkan).

Tahapan keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.”[18]

Menambahkan Puasa 9 Muharram

Sebagaimana dijelaskan di atas (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau sudah keburu meninggal sehingga beliau belum sempat melakukan puasa pada hari itu.

Lalu bagaimana hukum menambahkan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.

Apa hikmah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam.[19]

Ibnu Rojab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.”[20]

Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:

1. Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
2. Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[21]

Puasa 9, 10, dan 11 Muharram

Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya berpuasa pada hari ke-9, 10, dan 11 Muharram. Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan puasa Asy Syura[22]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Puasalah pada hari ’Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ’Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin ’Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, ”Daud kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).

Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu ’anhuma berkata,

خَالِفُوْا اليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ

“Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai perkataan sahabat). [23]

Catatan: Jika ragu dalam penentuan awal Muharram, maka boleh ditambahkan dengan berpuasa pada tanggal 11 Muharram.

Imam Ahmad -rahimahullah- mengatakan, ”Jika ragu mengenai penentuan awal Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari (hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen) untuk kehati-hatian.”[24]

Sebagai Motivasi

Semoga kita terdorong untuk melakukan puasa Asyura. Cukup ayat ini sebagai renungan. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

“(Kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al Haqqah: 24)

Mujahid dan selainnya mengatakan, ”Ayat ini turun pada orang yang berpuasa. Barangsiapa meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan makanan dan minuman yang lebih baik, serta akan mendapat ganti dengan pasangan di akhirat yang kekal (tidak mati).”[25] Inilah balasan untuk orang yang gemar berpuasa.

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, pada hari mubarrok (Jum’at), 1 Muharram 1431 H Read More...

Minggu, 12 Desember 2010

Manisnya Iman

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya, “Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan RasulNya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api.” (Muttafaq ‘alaih)

Perawi Hadits

Abu Hamzah Anas bin Malik bin an-Nadlar an-Najjari al-Khazraji radhiyallahu 'anhu. Seorang imam, qari’, mufti, muhaddits, riwayatul Islam dan sekaligus pelayan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Dia mendampingi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan begitu sempurna, dan senantiasa menyertai beliau shallallahu 'alaihi wasallam semenjak hijrah ke Madinah. Berkali-kali dia mengikuti perang beserta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan merupakan salah seorang yang ikut berbai’at di bawah pohon (ba’iatul ‘aqabah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Aku melayani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama 10 tahun, beliau tidak pernah memukulku, tidak pernah mencelaku dan tidak pernah bermuka masam di hadapanku.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendoakan Anas agar dikaruniai harta dan anak yang banyak dan doa beliau dikabulkan Allah Subhanahu waTa'ala. Disebutkan bahwa putra-putri Anas pada masa menjelang wafat mencapai lebih dari seratus orang. Beliau meninggal pada tahun 91 atau 92 H. Beliau adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang paling akhir meninggal dunia, dan ketika beliau wafat, maka bersedihlah semua orang sehingga dikatakan, “Separuh ilmu telah pergi”.

Makna Hadits

-Tiga hal, maksudnya adalah ada tiga sifat yang jika tiga sifat itu ada pada seseorang maka orang tersebut akan merasakan manisnya iman. Dan yang dimaksud dengan manisnya iman adalah rasa nikmat ketika melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa'ala, ketenangan hati dan lapangnya dada.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Syaikh Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, “Pengungkapan dengan lafal manis karena Allah Subhanahu waTa'ala mengumpamakan iman sebagaimana pohon, seperti di dalam firman-Nya, surat Ibrahim 24, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik.” Kalimat thayyibah (baik) adalah kalimatul ikhlash, kalimat tauhid, sedangkan pohon merupakan pokok dari keimanan, cabang-cabangnya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, daun-daunnya adalah segala amal kebaikan yang harus diperhatikan seorang mukmin, dan buahnya adalah segala macam bentuk ketaatan. Manisnya buah akan didapat ketika buah sudah matang, dan puncak dari rasa manis itu adalah bila buah telah masak total, maka ketika itulah akan terasa manisnya buah tersebut.

Allah Subhanahu waTa'ala dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih dia cintai dari pada selain keduanya, artinya mencintai Allah Subhanahu waTa'ala dan RasulNya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melebihi cintanya kepada orang lain seperti orang tua, anak, diri sendiri dan semua orang.

Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah Subhanahu waTa'ala. Maksudnya adalah hendaknya hubungan antara seorang muslim dengan saudaranya yang muslim dilandasi dengan iman kepada Allah Subhanahu waTa'ala dan amal shalih. Bertambahnya kecintaan bukan karena mendapatkan keuntungan materi dan berkurangnya cinta bukan karena tiadanya manfaat dunia yang diperoleh, namun ukurannya adalah iman dan amal shalih.
Benci jika kembali kepada kekufuran, sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke dalam api. Di dalam riwayat lain disebutkan, bahkan dilemparkan ke dalam api lebih dia sukai daripada kembali kepada kekufuran, setelah Allah Subhanahu waTa'ala menyelamatkan dia dari kekufuran itu. Ini maknanya lebih mendalam daripada riwayat di atas, karena riwayat di atas menunjukkan kesamaan tingkat di dalam membenci kekufuran dan membenci jika dibakar di dalam api.

Beberapa Faidah dan Hukum

* Iman kepada Allah Subhanahu waTa'ala memiliki rasa manis yang tidak mungkin dinikmati, kecuali oleh orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, yang disifati dengan ciri-ciri yang mengindikasikan sebagai ahlinya. Oleh karena itu, tidak semua orang yang menyatakan dirinya mukmin otomatis dapat merasakan manisnya iman itu.

* Cinta Allah Subhanahu waTa'ala, kemudian disusul cinta RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam merupakan ciri terpenting yang harus dimiliki oleh siapa saja yang ingin merasakan lezatnya iman. Cinta Allah Subhanahu waTa'ala dan rasulNya tidak boleh diungguli oleh cinta kepada siapapun selain keduanya. Bahkan cinta Allah Subhanahu waTa'ala dan RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam merupakan parameter bagi kecintaan terhadap diri sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia.

Suatu ketika Umar radhiyallahu 'anhu berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada segala sesuatu apa pun, kecuali diriku.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak demikian, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri.” Maka Umar radhiyallahu 'anhu menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya engkau sekarang lebih aku cintai dari pada diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Sekarang hai Umar, telah sempurna imanmu”. Anas radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sehingga aku lebih dia cintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” Dan konsekuensi dari cinta ini adalah melaksanakan perintah Allah Subhanahu waTa'ala dan RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam serta menjauhi larangan keduanya dengan penuh rasa rela dan ketundukan yang utuh, sebagaimana firman Allah Subhanahu waTa'ala, artinya, “Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31)

* Di antara sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang memperoleh kecintaan Allah Subhanahu waTa'ala setelah melakukan kewajiban adalah sebagaimana yang disampaikan al-Imam Ibnul Qayyim, yaitu :

- Membaca al-Qur’an dengan merenungkan dan memahami maknanya

- Mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah.

- Terus menerus berdzikir kepada Allah Subhanahu waTa'ala dalam segala kondisi, baik dengan hati, lisan atau perbuatan.

- Mendahulukan apa yang dicintai Allah Subhanahu waTa'ala dibanding yang dicintai diri sendiri.

- Berteman dengan orang-orang yang jujur mencintai Allah Subhanahu waTa'ala dan sesama muslim.

- Menjauhi segala perkara yang dapat menghalangi antara hati dengan Allah Subhanahu waTa'ala.

* Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah merupakan tuntutan dari kecintaan terhadap Allah Subhanahu waTa'ala. Ia berada di atas kecintaan terhadap seluruh manusia. Di antara ciri-cirinya adalah:

- Beriman bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah utusan Allah Subhanahu waTa'ala, yang diutus kepada seluruh umat manusia, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagai penyeru ke jalan Allah Subhanahu waTa'ala dengan membawa cahaya yang terang benderang.

- Bercita-cita untuk bertemu dengan beliau dan khawatir jika tidak dapat bertemu beliau shallallahu 'alaihi wasallam .

- Menjalankan perintah-perintah beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan menjauhi larangan beliau shallallahu 'alaihi wasallam, karena orang yang mencintai seseorang, maka akan menaatinya. Jangan sampai tertipu dengan klaim dusta mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menjalankan perintahnya, bahkan menerjang larangannya.

- Menolong sunnahnya, mengamalkan, menyebarkan, membela dan memperjuangkannya.

- Banyak bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

- Berakhlaq dengan akhlaq beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan beradab dengan adab-adab beliau shallallahu 'alaihi wasallam
- Mencintai sahabat-sahabat beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan membela mereka.

- Mengkaji perjalanan hidup dan sirah beliau shallallahu 'alaihi wasallam serta mengetahui keadaan dan berita-berita yang menyangkut beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

* Selayaknya jalinan seorang muslim dengan muslim yang lain dibangun di atas landasan cinta kepada Allah Subhanahu waTa'ala. Karena jenis cinta seperti ini memiliki keutamaan yang amat besar, dan mendatangkan pahala yang banyak. Imam al-Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah Subhanahu waTa'ala pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya. Salah satu di antaranya adalah, “Dua orang yang saling menyintai karena Allah, berkumpul karenaNya dan berpisah karenaNya.”

* Saling mencintai karena Allah Subhanahu waTa'ala mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan, di antaranya:
- Membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan mau melakukan itu, sebagaimana di dalam hadits, “Sebaik-baik orang adalah yang paling memberi manfaat kepada orang lain.”

- Tidak membicarakan aib, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, sebagaimana diri kita juga senang jika aib kita tidak dibicarakan, maka mereka pun demikian.

- Tidak membenci, tidak iri dan dengki terhadap nikmat yang diberikan Allah Subhanahu waTa'ala kepada saudara kita.

- Mendoakan saudara kita tanpa sepengetahuannya baik ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia. Karena doa yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab, begitu pula bagi yang berdoa.

- Bersegera mengucapkan salam jika bertemu, bertanya tentang kabar dan keadaannya, tidak bersikap sombong dan merasa tinggi.

- Kekufuran adalah hal yang dibenci Allah Subhanahu waTa'ala. Maka seorang mukmin wajib membencinya sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api, bahkan lebih benci lagi. Orang kafir juga dibenci oleh Allah Subhanahu waTa'ala, maka orang mukmin juga harus membencinya disebabkan oleh kekufurannya yang akan menggiring masuk neraka. Atas dasar ini, maka bersikap loyal (berwala’) kepada orang kafir adalah merupakan sebab dari kemurkaan Allah Subhanahu waTa'ala dan kemarahanNya. Di antara bentuk-bentuk sikap loyal kepada orang kafir adalah mencintai mereka, menolong mereka dalam rangka memerangi orang mukmin, bermudahanah (berbasa-basi, tidak mengingkari kesesatan dan kekeliruan mereka sehingga terkesan membenarkan-red), bersahabat atau mengambil mereka sebagai teman akrab dan mengangkat mereka menjadi orang kepercayaan serta orang dekat (bithanah). Padahal Allah Subhanahu waTa'ala telah berfirman, artinya, “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).?” (QS. Ali ‘Imran:28)

Sumber: Diterjemahkan oleh Abu Ahmad Taqiyuddin dari makalah Syaikh Nashir al-Syimali, “halawatul iman” Read More...

Kamis, 09 Desember 2010

Tips Cegah Kanker

Belakang ini terutama di negara-neraga maju, sudah banyak orang yang menerapkan perilaku hidup sehat seiring dengan gerakan pencegahan kanker.

Berikut ini langkah-langkah yang dianjurkan untuk mencegah timbulnya kanker:

• Makan banyak sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian seperti tempe, tahu dan makanan yang banyak mengandung serat. Paling tidak satu atau dua kali sehari mengkonsumsi sayuran hijau dan buah-buahan.

• Hindari berat badan berlebihan atau kegemukan. Timbanglah berat badan 1 kali seminggu. Penelitian menunjukkan, akibat kegemukan, risiko terjadinya kanker lebih besar khususnya kanker payudara, rahim, usus besar, lambung, ginjal, serta kandung empedu.

• Kurangi terlalu banyak makanan gorengan dan juga yang mengandung protein dan lemak tinggi serta jeroan.

• Batasi makanan yang diolah dengan suhu tinggi dan lama atau dengan pengolahan tertentu yang dapat menimbulkan prokarsinogen seperti makanan yang diasinkan, diasap, dibakar, dipanggang sampai keluar arang (gosong) . Yang terbaik adalah makanan yang direbus.

• Hati-hati dengan penggunaaan pemanis buatan, pewarna makanan serta zat pengawet yang berlebihan. Makanan terbaik adalah makanan segar.

• Makanan dijaga kebersihannya, beraneka ragam, dan bebas dari zat cemaran lingkungan.

• Sebaiknya tidak berlebihan mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan juga merokok

• Kegiatan fisik dengan olahraga secara teratur disertai kesehatan mental dan rohani merupakan bagian terpadu dalam upaya pencegahan penyakit kanker. Read More...

Kamis, 02 Desember 2010

Awali Hari Anda dengan Sarapan

Manfaat Sarapan

Sarapan atau makan pagi penting untuk dilakukan. Alasannya karena saat tidur selama kurang lebih 8 jam tubuh kita tidak ada makanan yang masuk dalam tubuh sedangkan aktivitas seperti bernafas, bergerak atau aktivitas ringan lain tetap berjalan. Akibatnya kadar gula dalam tubuh sangat rendah. Sedangkan pagi hari aktivitas fisik mulai berjalan, seperti melakukan perjalanan ke kantor, berpikir atau perlunya konsentrasi agar dapat melakukan kegiatan dengan baik. Semua ini memerlukan adanya energi dan energi didapatkan dari makanan yang disantap.

Dengan menyantap makanan yang baik, akan membuat tubuh akan merasa kenyang dan akan membangkitkan semangat untuk melakukan aktivitas. Anda tidak akan merasa lesu atau disibukkan oleh perut yang kelaparan. Sarapan yang sehat dapat membantu menurunkan kadar kolesterol. Secara emosi, sarapan dapat menjadi tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga, saling bercerita, berkomunikasi dan mendekatkan diri secara emosi. Ini merupakan hal yang baik untuk menciptakan keluarga yang harmonis.



Mengapa Tidak Sarapan?

Tetapi, walau menyadari pentingnya sarapan. Ada orang yang merasa enggan melakukannya karena beberapa alasan. Misalnya:

* Diburu waktu, agar tidak terlambat sampai di kantor, seseorang melewatkan sarapan atau hanya minum susu atau kopi sebagai sarapannya. Untuk mengatasi masalah ini, ada baiknya Anda bangun lebih pagi. Agar tidak merasa mengantuk saat bangun pagi, Anda harus tidur lebih awal. Mendisiplin diri agar tidak tergoda untuk menonton TV atau berinternet yang dapat membuat kita terjaga sampai larut malam.
* Takut gemuk. Mengurangi jatah masuknya makanan di pagi hari dapat membuat kita terlihat langsing. Pendapat ini salah besar karena justru tanpa sarapan, kalori yang disantap bisa lebih banyak. Tanpa sarapan, metabolisme tubuh dan pembakaran lemak dalam tubuh akan menurun sehingga nafsu makan siang akan meningkat. Tubuh yang terasa lapar dapat membuat Anda mencari cemilan sehingga kalori yang masuk dalam tubuh meningkat.
* Tidak terbiasa, merasa mual atau sakit perut bila makan di pagi hari. Anda harus menanamkan dalam pikiran untuk bersungguh-sungguh membiasakan diri sarapan agar tetap sehat. Coba untuk tidak langsung sarapan setelah bangun tidur tetapi berikan jeda waktu antara 1-2 jam setelah bangun baru menyantap sarapan Anda. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan tidak lengsung menghabiskan sarapan, tetapi membaginya dalam beberapa porsi kecil yang dapat disantap sepanjang pagi. Pastikan agar kemasan tidak rusak yang dapat menyebabkan makanan menjadi rusak.
* Bosan atau tidak nafsu untuk menyantap sarapan. Solusinya adalah dengan membuat menu sarapan bervariasi tidak hanya nasi goreng, roti selai, telur dadar atau menu lain yang hanya itu-itu saja. Memang hal ini tidak mudah, karena mungkin Anda yang bekerja, Anda bisa terlambat ke kantor bila harus menyiapkan makanan yang repot. Tetapi Anda dapat mencoba mempersiapkan bahan makanan untuk sarapan pada malam hari. Esoknya, Anda tinggal menyelesaikan makanan dengan memasak yang akan menghemat waktu. Dengan meyediakan waktu lebih banyak, manfaat yang bisa didapat lebih banyak pula.


Menu Sarapan

Sarapan sudah dilakukan setiap hari. Tetapi, apakah menu makan pagi Anda sudah sehat? Banyaknya kalori yang sebaiknya masuk dalam tubuh kita waktu sarapan adalah sebanyak 300-400 kalori. Makanan yang dianjurkan untuk sarapan adalah menu yang cukup gizinya, menu yang sesuai dengan “Empat Sehat Lima Sempurna”, yang 3 diantaranya adalah terdiri dari karbohidrat, protein, susu, sereal. Pilihan lain adalah dengan minum jus buah, 2 porsi buah besar, susu atau susu rendah lemak.

Karena waktu yang hanya sedikit, para karyawan sering sarapan setelah sampai di kantor. Sisi negatif dari membeli makanan adalah kita tidak tahu sampai sejauh mana kebersihan makanan tersebut. Untuk menghindari penyakit akibat makanan yang kotor, upayakan untuk memilih mengkonsumsi makanan yang sehat yang mengandung kandungan gizi yang cukup. Pilih makanan dalam kemasan yang tertutup agar dapat dipastikan makanan tersebut tidak dihinggapi lalat atau nyamuk yang membawa bibit peyakit.

Upayakan juga untuk menghindari makanan yang kurang sehat atau yang berminyak di menu sarapan yang dibeli. Misalnya Anda dapat menghindari mengkonsumsi jeroan saat bersantap bubur. Hindari santan saat menikmati bubur kacang hijau, hindari kerupuk saat bersantap nasi atau saat makan ketoprak. Tetapi, jangan lupa untuk tidak membiasakan diri dengan bersantap gorengan sebagai menu sarapan pagi karena kalori yang tinggi dan penggunaan minyak goreng yang kurang baik.

Kini, tidak ada alasan lagi untuk memulai hari tanpa sarapan karena ternyata ada banyak manfaat yang bisa didapat bila kita sarapan sehat secara rutin. Hal ini juga dapat dilatih pada anak-anak agar mereka terbiasa untuk sarapan yang akan memberikan energi bagi mereka untuk mengikuti kegiatan sekolah yang padat, membantunya berkonsentrasi dan memahami pelajaran yang diberikan. Maka, upayakan untuk menyediakan menu sarapan yang sehat dan lezat yang akan dinikmati seluruh anggota keluarga.

Read More...

Selasa, 30 November 2010

Jalani Hidupmu Seperti Yang Diperintahkan Rabbmu

Hidup Bukan Sebuah Kesia-siaan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maha tinggi Allah Raja Yang Maha benar. Tiada sesembahan -yang benar- kecuali Dia, Rabb Yang memiliki Arsy yang mulia.” (QS. al-Mu’minun: 115-116). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya ini untuk kesia-siaan. Itu adalah persangkaan orang-orang kafir saja, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk ke dalam neraka.” (QS. Shaad: 27)

Untuk Apa Kita Hidup?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholat dan sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya, dalam keadaan mentauhidkan-Nya, agar mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Apa Balasan Bagi Orang Yang Taat Beribadah?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang beramal salih dari kalangan lelaki ataupun perempuan sedangkan dia beriman, niscaya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan akan Kami sempurnakan balasan untuk mereka dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.” (QS. an-Nahl: 97). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih, mereka itulah sebaik-baik makhluk. Balasan bagi mereka adalah surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah balasan bagi orang-orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. al-Bayyinah: 7-8)

Apakah Kita Wajib Beragama Islam?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia pasti menjadi termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun di antara umat ini yang mendengar kenabianku, entah beragama Yahudi atau Nasrani lalu dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman terhadap ajaranku, niscaya dia termasuk golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ‘Apakah kalian mau masuk Islam?’. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka mendapatkan petunjuk, dan apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20).

Bagaimana Beribadah Kepada Allah?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. al-Mukmin: 16). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Di antara manusia ada yang mengangkat selain Allah sebagai sekutu-sekutu, mereka mencintainya sebagaimana cintanya kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165).

Bolehkah Kita Berdoa Kepada Selain Allah?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada sesuatu yang lain bersama Allah siapapun juga.” (QS. al-Jin: 18). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada suatu sesembahan yang lain bersama Allah yang jelas tidak ada keterangan atasnya maka sesungguhnya perhitungan atasnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak memperoleh keberuntungan.” (QS. al-Mukminun: 117). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Intisari ibadah itu adalah doa.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain). Karena doa adalah ibadah maka tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Barangsiapa menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia telah melakukan dosa syirik dan kekafiran, yang pelakunya diancam kekal di dalam neraka, na’udzu billahi min dzalik!

Apa Akibat Dosa Syirik?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih akan mengampuni dosa-dosa yang lain di bawahnya bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya kelak adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu dari kalangan ahli kitab dan orang musyrik akan menempati neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. al-Bayyinah: 6). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).

Apa Saja Keutamaan Tauhid?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya).

Kepada Siapa Kita Mencontoh?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri rasulullah suri teladan yang baik, bagi orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti ridha kepada-Nya, dan Allah telah persiapkan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, itulah keberuntungan yang sangat-sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Apakah Nabi Muhammad Nabi Terakhir?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah seorang utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab: 40). Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “…Dahulu para nabi itu diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada segenap umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Perumpamaan diriku dengan para nabi seperti perumpamaan seorang lelaki yang membangun sebuah rumah lalu dia berusaha menyempurnakan dan melengkapinya kecuali tersisa satu tempat yang belum terisi batu-bata. Maka orang-orang pun mulai memasukinya dan terkagum-kagum terhadapnya, namun mereka berkata, ‘Seandainya satu tempat batu-bata ini terisi sungguh sempurna!’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akulah yang menempati tempat batu-bata itu, aku datang lalu menutup nabi-nabi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apakah Kita Boleh Menyelisihi Ajaran Nabi?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan/tuntunan rasul itu, karena mereka akan tertimpa bencana atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas petunjuk baginya dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dirinya tenggelam dalam kesesatan yang dipilihnya, dan kelak Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak layak bagi seorang mukmin lelaki dan perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali yang enggan.”… “Barangsiapa yang taat kepadaku niscaya masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dialah orang yang enggan.” (HR. Bukhari)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id Read More...

Minggu, 31 Oktober 2010

Sejarah Manusia

Download sejarah manusia Read More...

Sabtu, 30 Oktober 2010

Penanganan Luka Bakar


Dalam kasus luka bakar, ada 3 (tiga) derajat luka bakar berdasarkan tingkat keparahannya. Derajat paling awal yaitu luka bakar ringan, dimana sebagian epidermis (bagian teratas kulit) terbakar dalam kadar yang cukup ringan. Biasanya luka bakar ringan disebabkan oleh terkena panas matahari berlebihan, tersentuh benda panas misalnya setrika atau panci/wajan panas, tersiram air panas, atau kena bahan kimia yang bersifat korosif.
Gejala luka bakar ringan adalah kulit memerah, ada pembengkakan, dan pada beberapa kasus, bisa menyebabkan demam dan sakit kepala.
Walaupun tergolong ringan, luka bakar ringan tetap harus dirawat dengan baik. Berikut adalah langkah-langkah perawatan luka bakar ringan :
  • Dinginkan luka bakar dengan air dingin yang mengalir secara terus menerus selama 15 menit. Hal ini bisa dilakukan dengan meletakkan bagian yang mengalami luka bakar di bawah kran dengan air yang terus mengalir, atau rendam dalam bak mandi atau ember yang berisi air dingin. Tindakan ini berguna untuk mencegah atau mengurangi bengkak yang disebabkan oleh kerusakan jaringan serta mencegah kerusakan merembet ke lapisan kulit yang lebih dalam.
  • Jangan meletakkan es secara langsung pada luka bakar, karena dapat menyebabkan frosbite, yaitu cedera atau kematian sel karena membeku.
  • Jangan mengoleskan apapun ke kulit yang mengalami luka bakar sebelum anda melakukan tindakan diatas. Mengoleskan pasta gigi atau mentega bukanlah tindakan yang tepat, bahkan akan memicu munculnya infeksi.
  • Setelah luka bakar dingin, oleskan lotion yang mengandung aloe vera atau vitamin E. Hal ini bertujuan untuk mencegah kulit menjadi kering atau rusak.
  • Bila perlu anda dapat menutup kulit yang mengalami luka bakar dengan kasa steril yang mengandung antibiotik  ( Sofratulle atau Daryantulle) dan plester. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya infeksi dan juga mengurangi nyeri akibat luka bakar bersentuhan dengan udara atau pakaian.
  • Selain kasa steril yg mengandung antibiotik anda juga bisa mengoleskan krim antibiotik contohnya Bioplacenton ke luka bakar untuk mencegah infeksi.
  • Untuk mengurangi rasa nyeri atau demam minumlah pereda nyeri seperti paracetamol atau aspirin.
  • Setelah luka bakar sembuh untuk mengurangi bekas luka dapat menggunakan mederma gel yang bisa di beli di apotik-apotik terdekat

Read More...

Manfaat Tempe



Siapa sih yang tidak kenal tempe? Tempe merupakan produk fermentasi kedelai oleh kapang Rhizopus sp. Walaupun harganya relatif murah, nutrisi yang terkandung di dalamnya tidak dapat diremehkan. Mau tahu apa saja nutrisinya? 


Pangan Fungsional
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan petingnya hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan yang menyehatkan juga meningkat. Hal ini menyebabkan pangan fungsional menjadi trend belakangan ini. Hmmm... pangan fungsional?
Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung bahan-bahan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan. Contohnya vitamin, mineral, asam lemak tidak jenuh, asam amino, prebiotik, probiotik, kolin, lesitin, inositol, isoflavon, fitosterol, polifenol, dan masih banyak komponen fungsional lainnya.



Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi pangan fungsional pun meningkat, khususnya di negara maju, walaupun harga pangan fungsional lebih mahal daripada pangan umum. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Tidak semua masyarakat Indonesia mampu membeli pangan fungsional karena harganya yang relatif mahal dan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia yang mayoritas menengah ke bawah. Akan tetapi, ada pilihan pangan fungsional yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia yaitu tempe.

Kenapa Tempe?
Inilah beberapa alasan, mengapa tempe tetap penting berada di piring nasi kita

1.     Sumber Makronutrisi
Tempe memiliki kadar protein nabati yang tinggi, lemak, serta karbohidrat. Selama fermentasi, komponen protein dan lemak dalam kacang kedelai dipecah sehingga lebih mudah dicerna. Jumlah asam lemak bebas, termasuk asam lemak tak jenuh esensial, meningkat. Seperti kita ketahui, asam lemak tidak jenuh dapat menurunkan kadar  kolesterol dalam tubuh sehingga menurunkan risiko aterosklerosis.

2.     Sumber Mineral

Bukan saja sebagai sumber protein, tempe juga mengandung sejumlah mineral seperti besi, seng, tembaga, dan mineral lain. Konsumsi tempe secara teratur akan menghindarkan seseorang dari anemia akibat kekurangan mineral zat besi. Dalam kacang kedelai, terkandung senyawa asam fitat yang dapat mengganggu absorbsi mineral dalam tubuh. Melalui proses fermentasi, asam fitat ini diurai oleh enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang tempe menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu dalam tempe menjadi lebih mudah untuk diabsorpsi tubuh.

3.     Sumber Vitamin

Tempe juga merupakan sumber vitamin B, terutama vitamin B12 yang berperan dalam pembentukan sel darah merah. Selain vitamin, fermentasi oleh kapang Rhizopus juga menghasilkan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik ini melindungi usus dan memperbaiki sistem pencernaan setelah diare.

4.     Sumber Antioksidan

Selain mengandung berbagai komponen gizi yang disebutkan di atas, tempe mengandung antioksidan kelompok isoflavonoid. Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Penelitian yang dilakukan di Universitas North Carolina, Amerika Serikat, menemukan bahwa genistein dan fitoestrogen yang terdapat pada tempe dapat mencegah kanker prostat dan payudara.

Dengan segudang kandungan nutrisi yang bermanfaat dalam tempe, tunggu apa lagi? Mari budayakan makan tempe!

Sumber: http://www.mediasehat.com/konten6no103

Read More...

Fathu Makkah: Pelajaran dari Penaklukan Kota Mekkah

Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.

Sebab Terjadinya Fathu Makkah
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka.
Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-”.
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan
“Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata,
“Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan,
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”
Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
“Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ الأحزابَ وحْدَه
“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda,
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Read More...

Pelajaran dari Perang Badar

Saudaraku sesama muslim…
Marilah sejenak kita melakukan kilas balik terhadap berbagai peristiwa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Kita berharap mudah-mudahan dengan mempelajari dan mengamati peristiwa ini, kita bisa mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan kita sehari-hari. Dua tahun setelah Nabi kita tercinta Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke madinah, bertepatan dengan bulan Ramadhan yang mulia ini, terjadilah satu peristiwa besar namun sering dilupakan kaum muslimin. Peristiwa tersebut adalah perang Badar.

Disebut sebagai peristiwa besar, karena perang Badar merupakan awal perhelatan senjata dalam kapasitas besar yang dilakukan antara pembela Islam dan musuh Islam. Saking hebatnya peristiwa ini, Allah namakan hari teradinya peristiwa tersebut dengan Yaum Al Furqan (hari pembeda) karena pada waktu itu, Allah, Dzat yang menurunkan syariat Islam, hendak membedakan antara yang haq dengan yang batil. Di saat itulah Allah mengangkat derajat kebenaran dengan jumlah kekuatan yang terbatas dan merendahkan kebatilan meskipun jumlah kekuatannya 3 kali lipat. Allah menurunkan pertolongan yang besar bagi kaum muslimin dan memenangkan mereka di atas musuh-musuh Islam.
Sungguh sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin di masa kita melalaikan kejadian bersejarah ini. Padahal, dengan membaca peristiwa ini, kita dapat mengingat sejarah para shahabat yang mati-matian memperjuangkan Islam, yang dengan itu, kita bisa merasakan indahnya agama ini.
Sebelum melanjutkan tulisan, kami mengingatkan bawa tujuan tulisan bukanlah mengajak anda untuk mengadakan peringatan hari perang badar, demikian pula tulisan tidak mengupas sisi sejarahnya, karena ini bisa didapatkan dengan merujuk buku-buku sejarah. Tulisan ini hanya mencoba mengajak pembaca untuk merenungi ibrah dan pelajaran berharga di balik serpihan-serpihan sejarah perang Badar.
Latar Belakang Pertempuran

Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin Madinah bahwa Abu Sufyan beserta kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang dari Syam menuju Mekkah. Jalan mudah dan terdekat untuk perjalanan Syam menuju Mekkah harus melewati Madinah. Kesempatan berharga ini dimanfaatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas barang dagangan mereka. Harta mereka menjadi halal bagi kaum muslimin. Mengapa demikian? Bukankah harta dan darah orang kafir yang tidak bersalah itu haram hukumnya?
Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan harta Orang kafir Quraisy tersebut halal bagi para shahabat:
  1. Orang-orang kafir Quraisy statusnya adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang secara terang-terangan memerangi kaum muslimin, mengusir kaum muslimin dari tanah kelahiran mereka di Mekah, dan melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan harta mereka sendiri.
  2. Tidak ada perjanjian damai antara kaum muslimin dan orang kafir Quraisy yang memerangi kaum muslimin.
Dengan alasan inilah, mereka berhak untuk menarik kembali harta yang telah mereka tinggal dan merampas harta orang musyrik.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama tiga ratus sekian belas shahabat. Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menentukan jumlah pasukan kaum muslimin di perang badar. Ada yang mengatakan 313, 317, dan beberapa pendapat lainnya. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyikapi angka ini, sehingga dijadikan sebagai angka idola atau angka keramat, semacam yang dilakukan oleh LDII yang menjadikan angka 313 sebagai angka keramat organisasi mereka dengan anggapan bahwa itu adalah jumlah pasukan Badar.
Di antara tiga ratus belasan pasukan itu, ada dua penunggang kuda dan 70 onta yang mereka tunggangi bergantian. 70 orang di kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar.
Sementara di pihak lain, orang kafir Quraisy ketika mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu Sufyan meminta bantuan, dengan sekonyong-konyong mereka menyiapkan kekuatan mereka sebanyak 1000 personil, 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap. Berangkat dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu Jahal.
Allah Berkehendak Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabat keluar dari Madinah dengan harapan dapat menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Merampas harta mereka sebagai ganti rugi terhadap harta yang ditinggalkan kaum muhajirin di Makah. Meskipun demikian, mereka merasa cemas bisa jadi yang mereka temui justru pasukan perang. Oleh karena itu, persenjataan yang dibawa para shahabat tidaklah selengkap persenjataan ketika perang. Namun, Allah berkehendak lain. Allah mentakdirkan agar pasukan tauhid yang kecil ini bertemu dengan pasukan kesyirikan. Allah hendak menunjukkan kehebatan agamanya, merendahkan kesyirikan. Allah gambarkan kisah mereka dalam firmanNya:
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)
Demikianlah gambaran orang shaleh. Harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak terwujud. Mereka menginginkan harta kafilah dagang, tetapi yang mereka dapatkan justru pasukan siap perang. Kenyataan ini memberikan pelajaran penting dalam masalah aqidah bahwa tidak semua yang dikehendaki orang shaleh selalu dikabulkan oleh Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang mampu mengendalikan keinginan Allah. Sehebat apapun keshalehan seseorang, setinggi apapun tingkat kiyai seseorang sama sekali tidak mampu mengubah apa yang Allah kehendaki.
Keangkuhan Pasukan Iblis
Ketika Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan kaum muslimin, dia langsung mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah tentang kabar dirinya dan meminta agar pasukan Mekkah kembali pulang. Namun, dengan sombongnya, gembong komplotan pasukan kesyirikan enggan menerima tawaran ini. Dia justru mengatakan,
“Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana tiga hari, menyembelih onta, pesta makan, minum khamr, mendengarkan dendang lagu biduwanita sampai masyarakat jazirah arab mengetahui kita dan senantiasa takut kepada kita…”
Keangkuhan mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs. Al-Anfal: 47)
Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu di bawah pengaturan Allah, karena ditutupi dengan kesombongan mereka. Mereka tidak sadar bahwa Allah kuasa membalik keadaan mereka. Itulah gambaran pasukan setan, sangat jauh dari kerendahan hati dan tawakal kepada Yang Kuasa.
Kesetiaan yang Tiada Tandingnya
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa yakin bahwa yang nantinya akan ditemui adalah pasukan perang dan bukan kafilah dagang, beliau mulai cemas dan khawatir terhadap keteguhan dan semangat shahabat. Beliau sadar bahwa pasukan yang akan beliau hadapi kekuatannya jauh lebih besar dari pada kekuatan pasukan yanng beliau pimpin. Oleh karena itu, tidak heran jika ada sebagian shahabat yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju Badar. Allah gambarkan kondisi mereka dalam firmanNya,
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (Qs. Al Anfal: 5)
Sementara itu, para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu Bakr dan Umar bin Al Khattab sama sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju terus. Namun, ini belum dianggap cukup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan dari shahabat yang lain. Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau berunding dengan para shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan dua pilihan: (1) tetap melanjutkan perang apapun  kondisinya, ataukah (2) kembali ke madinah.
Majulah Al Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua, kami biar duduk menanti di sini saja. [1]‘” Kemudian Al Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda bersama Rab anda (Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kamipun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan komentar yang baik terhadap perkataan Al Miqdad dan mendo’akan kebaikan untuknya. Selanjutnya, majulah Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, komandan pasukan kaum anshar.
Sa’ad mengatakan, “Kami telah beriman kepada Anda. Kami telah membenarkan Anda. Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama Anda….” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Boleh jadi Anda khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak mau menolong Anda kecuali di perkampungan mereka (Madinah). Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang anshar. Maka dari itu, majulah seperti yang Anda kehendaki….”
Di Sudut Malam yang Menyentuh Jiwa…
Pada malam itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi Allah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslimin sebagai penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan kaum musyrikin di pihak lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada mereka. Adapun Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah. Memohon pertolongan dan bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang adalah,
“…Ya Allah, jika Engkau berkehendak (orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya Allah, jika pasukan yang kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan disembah…..”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang do’a ini sampai selendang beliau tarjatuh karena lamanya berdo’a, kemudian datanglah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakaikan selendang beliau yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai Rasulullah…”
Tentang kisah ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ (12) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِقِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (13)
“Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al Anfal: 12-13)
Bukti kemukjizatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seusai beliau menyiapkan barisan pasukan shahabatnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian beliau berisyarat, “Ini tempat terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, sana tempat terbunuhnya fulan….”
Tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bara Peperangan Mulai Menyala
Yang pertama kali menyulut peperangan adalah Al Aswad Al Makhzumi, seorang yang berperangai kasar dan akhlaknya buruk. Dia keluar dari barisan orang kafir sambil menantang. Kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthallib radhiyallahu ‘anhu. Setelah saling berhadapan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu langsung menyabet pedangnya hingga kaki Al Aswad Al Makhzumi putus. Setelah itu, Al Aswad merangkak ke kolam dan tercebur di dalamnya. Kemudian Hamzah menyabetkan sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam. Inilah korban Badar pertama kali yang menyulut peperangan.
Selanjutnya, muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum Musyrikin. Ketiganya berasal dari satu keluarga. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah. Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz bin Harits, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiga orang kafir tersebut menolak adu tanding dengan tiga orang Anshar dan mereka meminta orang terpandang di kalangan Muhajirin. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju. Ubaidah berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah berhadapan dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada kesulitan. Lain halnya dengan Ubaidah. Masing-masing saling melancarkan serangan, hingga masing-masing terluka. Kemudian lawan Ubaidah dibunuh oleh Ali radhiyallahu ‘anhu. Atas peritiwa ini, Allah abadikan dalam firmanNya,
هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)
Selanjutnya, bertemulah dua pasukan. Pertempuran-pun terjadi antara pembela Tauhid dan pembela syirik. Mereka berperang karena perbedaan prinsip beragama, bukan karena rebutan dunia. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan komando terhadap pasukan. Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma bertugas menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melantunkan do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah. Terkadang beliau keluar tenda dan mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan dikalahkan dan ditekuk mundur…”
Beliau juga senantiasa memberi motivasi kepada para shahabat untuk berjuang. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh dengan sabar dan mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Tiba-tiba berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil membawa beberapa kurma untuk dimakan, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah surga lebarnya selebar langit dan bumi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…Bakh… (ungkapan kaget). Wahai Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika mereka membunuhku. Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini adalah usia yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan terjun ke medan perang sampai terbunuh.”
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke barisan musuh. Sehingga tidak ada satu pun orang kafir kecuali matanya penuh dengan pasir. Mereka pun sibuk dengan matanya sendiri-sendiri, sebagai tanda kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.
Kuatnya Pengaruh Teman Dekat Dalam Hidup
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh Abul Bakhtari. Karena ketika di Mekkah, dia sering melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang memiliki inisiatif untuk menggugurkan boikot pada Bani Hasyim. Suatu ketika Al Mujadzar bin Ziyad bertemu dengannya di tengah pertempuran. Ketika, itu Abul Bakhtari bersama rekannya. Maka, Al Mujadzar mengatakan, “Wahai Abul Bakhtari, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membunuhmu.”
“Lalu bagaimana dengan temanku ini?”, tanya Abul Bakhtari
“Demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu.” Jawab Al Mujadzar.
Akhirnya mereka berdua melancarkan serangan, sehingga dengan terpaksa Al Mujadzar membunuh Abul Bakhtari.
Kemenangan Bagi Kaum Muslimin
Singkat cerita, pasukan musyrikin terkalahkan dan terpukul mundur. Pasukan kaum muslimin berhasil membunuh dan menangkap beberapa orang di antara mereka. Ada tujuh puluh orang kafir terbunuh dan tujuh puluh yang dijadikan tawanan. Di antara 70 yang terbunuh ada 24 pemimpin kaum Musyrikin Quraisy yang diseret dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di Badar. Termasuk diantara 24 orang tersebut adalah Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah dan anaknya, Al Walid bin Utbah.
Demikianlah perang badar, pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar dengan izin Allah. Allah berfirman,
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“…Betapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 249)
Mereka…
Mereka menang bukan karena kekuatan senjata
Mereka menang bukan karena kekuatan jumlah personilnya
Mereka MENANG karena berperang dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan membela agamaNya…
Allahu Al Musta’an…

Footnote:
[1] Perkataan Al Miqdad radhiyallahu ‘anhu ini merupakan cuplikan dari firman Allah surat Al Maidah: 24
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Read More...

Tanggal Kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tanggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)

Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62), dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan,
“Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)
Dengan demikian, apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya? (-ed muslim.or.id)
***
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Dikutip oleh muslim.or.id dari artikel 8 Faedah Seputar Tarikh Majalah Al-Furqon Edisi 08 th. ke-8 1430 H/2009 M Read More...

Permusuhan Yahudi Terhadap Islam Dalam Sejarah

Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri mereka terhadap agama yang mulia ini.

Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam

Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)
Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;
Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.

Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:
  1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
  2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
  3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
  4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
  5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:
  1. Pengusiran Bani Qainuqa’
  2. Pengusiran bani Al Nadhir
  3. Perang Bani Quraidzoh
  4. Penaklukan kota Khaibar
Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.
Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:
  1. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
  2. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
  3. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:
  1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
  2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
  3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:
  1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
  2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
  3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:
  1. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
  2. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
  3. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
  4. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
  5. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
***
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.com dikutip oleh www.muslim.or.id

Read More...